Menurut para ahli bumi, batuan dasar (atau dikenal dengan nama Basement) di Pulau Jawa terbentuk antara tahun 70-35 juta tahun sebelum masehi. Batuan ini tersusun oleh batuan malihan (matamorfik), serta batuan beku. Ahli geologi ini sudah lama meneliti Pulau Jawa dan tidak pernah menemukan batuan yg berumur lebih tua dari 50juta tahun lalu.
Jawa Barat usia batuan dasarnya lebih tua dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengapa ? Karena basement (batuan dasar) di Jawa Timur tebentuk pada tahap-tahap akhir setelah ditubruk lempeng Australia dan numpuk-numpuk membentuk basement di Jawa Timur.
Pada 20 juta tahun sebelum masehi, zona tubrukan lempeng Australia dengan lempeng Asia terkunci dan menyebabkan menunjamnya lempeng Australia dibawah lempeng Asia. Penunjaman ini yg berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan munculnya gunung-gunung api disebelah barat Pulau Sumatra dan juga sebelah selatan Pulau Jawa.
Pada waktu itu Jawa Tengah dan Jawa Timur berupa lautan karena kalau dilihat di selatan Pulau Jawa banyak dijumpai gunung gamping. Gamping itu dulunya terumbu karang yang hidup dan adanya di laut. Kalau sekarang contohnya ya Pulau Seribu itu atau kalau yang besar Great Barier di sebelah timut Australia. Dengan logika yang sederhana seperti itulah maka ahli kebumian ini tahu bahwa pegunungan selatan Jawa, termasuk Batugamping di Wonosari itu, dahulunya adalah lautan.
Lima juta tahun yang lalu konfigurasi serta bentuk pulau-pulau di Indonesia sudah mirip dengan yang ada saat ini. Pulau Jawa dan pulau Sumatra sudah “ditumbuhi” gunung-gunung api yg masih aktif hingga saat ini. Termasuk Gunung Merapi yang sangat aktif kemaren itu. Patahan-patahan di sumatra masih saja bergerak, juga saat itu patahan-patahan Jawa mulai terbentuk dan semakin jelas.
Tektonik
Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Pada Daratan Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia) bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan Lempeng Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983).
Pulau jawa yang terlihat saat sekarang adalah akibat adanya pergerakan dua lempeng yang bergerak saling mendekat dan mengalami tabrakan, dimana proses tersebut relatif bergerak menyerong (oblique) antara lempeng samudra hindia pada bagian barat daya dan lempeng Benua Asia bagian tenggara (eurasian), dimana lempeng samudra hindia akan menyusup ke lempeng asia tenggara. Pada zone subduksi akan dihasilkan palung jawa (Java trench) dengan pergerakan relatif 7 cm/tahun. Pada zone subduksi terdiri dari “Acctionary Complex ” yang materialnya secara garis besar dari lantai samudra india pada busur muka Jawa
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra –Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir-Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung- Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah- 1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking (mera-patnya) fragmen mikrokontinen pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus.
Rekonstruksi tektonika Pulau Jawa akhir kapur-paleogen
Evolusi tektonik tersier pulau jawa memasuki periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan). Periode ini terjadi Antara 54 jtl-45 jtl (Eosen), dimana di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara).
Pada jaman Eosen itu juga disertai oleh pengangkatan terhadap jalur subduksi,sehingga di beberapa tempat tidak terjadi pengendapan. Pada saat ituterjadi pemisahan yang penting antara bagian utara Jawa dengan cekungannya yang dalam dari bagian selatan yang dicirikan oleh lingkungan engendapan darat, paparan dan dangkal. Proses pengangkatan tersebut berlangsung hingga menjelang Oligosen akhir. Proses yang dampaknya cukup luas (ditandai oleh terbatasnya sebaran endapan marin Eosen-Oligosen di Jawa dan wilayah paparan Sunda), dihubungkan puladengan berkurangnya kecepatan gerak lempeng Hindia-Australia (hanya 3 cm/tahun). Gerak tektonik pada saat itu didominasi oleh sesar-sesar bongkah, dengan cekungan-cekungan terbatas yang diisi oleh endapan aliran gayaberat (olistotrom dan turbidit)
Oligosen Akhir-Miosen Awal, terjadi gerak rotasi yang pertama sebesar 20° ke arah yang berlawanan dengan jarum jam dari lempeng Sunda (Davies, 1984). Menurut Davies, wilayah-wilayah yang terletak di bagian tenggara lempeng atau sekitar Pulau Jawa dan Laut Jawa bagian timur, akan mengalami pergeseran-pergeseran lateral yang cukup besar sebagai akibat gerak rotasi tersebut. Hal ini dikerenakan letaknya yang jauh dari poros rotasi yang oleh Davies diperkirakan terletak di kepulauan anambas. Akibat gerak rotasi tersebut, gejala tektonik yang terjadi wilayah pulau Jawa adalah:
- Jalur subduksi Kapur-Paleosen yang mengarah barat-timur berubah menjadi timur timurlaut-barat baratdaya (ENE-WSW)
- Sesar-sesar geser vertical (dip slip faults) yang membatasi cekungan cekunganmuka busur dan bagian atas lereng (Upper slope basin), sifatnya berubah menjadi sesar-sesar geser mendatar. Perubahan gerak daripada sesar tersebut akan memungkinkan terjadinya cekungancekungan “pull apart” khususnya di Jawa Tengah utara dan Laut Jawa bagian timur, termasuk Jawa Timur dan Madura. Menjelang akhir Miosen Awal, gerak rotasi yang pertama daripada lempeng Mikro Sunda mulai berhenti.
- Miosen Tengah terjadi percepatan pada gerak lempeng Hindia-Australia dengan 5-6 cm/th dan perubahan arah menjadi N200°E pada saat menghampiri lempeng Mikro Sunda. Pada Akhir Miosen Tengah, terjadi rotasi yang kedua sebesar 20°-25°, yang dipicu oleh membukanya laut Andaman (Davies, 1984)
Berdasarkan data kemagnitan purba, gerak lempeng Hindia-Australia dalam menghampiri lempeng Sunda, mempunyai arah yang tetap sejak Miosen Tengah yaitu dengan arah N200°E. Dengan arah yang demikian, maka sudut interasi antara lempeng Hindia dengan Pulau Jawa akan berkisar antara 70° (atau hampir tegak lurus) Perubahan pola tektonik terjadi dijawa barat sebagai berikut :
- Cekunagn muka busur eosen yang menampati cekungan pengendapan bogor, berubah statusnya menjadi cekungan belakang busur, dengan pengendapan turbidit (a.l. Fm. Saguling)
- Sebagai penyerta dari interksi lempeng konvergen, tegasan kompresip yang mengembang menyebapkan terjadinya sesar-sesar naik yang arahnya sejajar dengan jalur subduksi dicekunagn belakang busur. Menurut Sujono (1987), sesar- sesar tersebut mengontrol sebaran endapan kipas-kipas laut dalam. Di jawa tengah pengendapan kipas-kipas turbidit juga berlangsung didalam cekungan “belakang busur” yang mengalami gerak-gerak penurunan melalui sesar-sesar bongkah dan menyebapkan terjadinya sub cekungan.
SEJARAH TEKTONIK PULAU JAWA
Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Pada Daratan Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina Selatan bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan Lempeng Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983). Untuk Pulau Jawa, yang terbesar pengaruhnya adalah sistem gerak Lempeng Samudera Hindia. Oleh karena itu dalam mempelajari evolusi tektonik Pulau Jawa perlu dipahami perkembangan pemekaran lantai Samudera Hindia dari waktu ke waktu.
Sebelum ditemukannya fosil pusat pemekaran Wharton Ridge, pengetahuan tentang sejarah perkembangan Samudera Hindia terbatas hanya pada terdapatnya tiga fase pemekaran lantai samudera sejak pecahnya Benua Gondwana bagian timur (Liu dkk, 1983).
Fase pemekaran pertama terjadi pada Kapur Awal (127 jtl) ketika India terpisah dari Antartika dan Australia pada arah baratlaut-tenggara.
Fase pemekaran kedua terjadi antara pembentukan anomali magnetik 34 dan 22 (atau antara 82 jtl sampai 54 jtl) yang ditandai oleh India terpisah dari Antartika dan menjauh ke utara dengan cepat. Fase ini ditunjukkan oleh kelurusan anomali magnetik berarah barat-timur. Kemudian pada anomali 22 (atau 54 jtl) kecepatan pergerakan India ke utara menurun secara mencolok karena diperkirakan mulai terjadi kontak pertama antara Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia.
Fase pemekaran ketiga, atau fase yang terakhir, terjadi mulai dari anomali 19 (atau 45 jtl) sampai sekarang ditunjukkan oleh anomali 19 sampai anomali 0 (nol) dengan arah baratlaut-tenggara yang memisahkan India dan Australia dari Antartika.
Sejarah perkembangan Samudera Hindia ini direvisi oleh Liu dkk (1983) berdasarkan hasil studi anomali magnetik Wharton Ridge, suatu pusat pemekaran berarah baratdaya-timurlaut yang berhenti aktivitasnya pada anomali 20 (45,6 jtl). Indikasi pertama keberadaan Wharton Ridge dilaporkan oleh McDonald (1977, dalam Liu dkk., 1983). Dalam studinya tentang sedimentasi dan struktur kipas bawahlaut Nicobar, yang menutupi lantai samudera di bagian baratlaut Cekungan Wharton, dikenali serangkaian tinggian batuan dasar berarah baratdaya-timurlaut di bawah lapisan sedimen dan menamakan tinggian ini sebagai Wharton Ridge. Dia juga berpendapat bahwa tinggian atau pematang ini mewakili segmen pusat pemekaran yang belum menyusup di bawah Palung Sunda.
Berdasarkan identifikasi anomali magnetik di daerah sekitar Wharton Ridge serta hasil dari DSDP (Deep Sea Drilling Project) di dekatnya, Liu dkk.(1983) mengemukakan urutan perkembangan Samudera Hindia bagian timur sebagai berikut (Gambar 17) :
(1) India terpisah dari Antartika-Australia dengan arah baratlaut-tenggara pada anomali magnetik M-11 (atau sekitar 127 jtl), yang menandai pecahnya benua purba Gondawana bagian timur.
(2) Pada Kapur Tengah, antara pembentukan anomali M-0 dan anomali 34 (atau antara 110-82 jtl), terjadi reorganisasi lempeng secara besar-besaran yang pertama. Pergerakan relatif antara India dan Antartika berubah menjadi berarah utara-selatan dan Australia mulai memisahkan diri dari Antartika.
(3) Pada Kapur Akhir, selama periode pembentukan anomali 34 sampai anomali 22 (atau antara 82-54 jt), India terus bergerak ke utara dengan cepat, sementara Australia bergerak menjauh dari Antartika dengan sangat lambat. Pada saat itu terbentuk triple junction di tempat dimana sesar transform 86ÂșE yang berarah utara-selatan menyatu dengan pusat pemekaran India-Antartika yang berarah barat-timur. Pada saat itu India dan Australia berada di dua lempeng yang berbeda dipisahkan oleh pusat pemekaran Wharton.
(4) Antara pembentukan anomali 22 dan anomali 19 (atau antara 54jt – 45 jt), reorganisasi lempeng yang kedua terjadi ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jt). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia pada 54 jtl.
(5) Setelah pembentukan anomali 19 (sekitar 45 jtl), aktifitas pusat pemekaran di selatan Australia (SE Indian Ridge), yang memisahkan India-Australia dan Antartika, berlangsung hingga sekarang. Pada saat itu, dengan telah matinya pusat pemekaran Wharton, India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Di bagian barat Benua India terus bergerak ke utara, membentur dengan keras (hard collision) Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya, sementara di bagian timur Lempeng Samudera Hindia terus menunjam di Palung Sunda.
Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang
Periode Kapur Akhir – Paleosen
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra – Jawa – Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir – Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking (merapatnya) fragmen mikrokontinen pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus dan terangkat-nya zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus
Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)
Antara 54 jtl – 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara)
Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF)
Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidak selaras. Di daerah Karangsambung selatan batas antara Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Akhir. Tanda-tanda ketidak selarasan ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan terdeformasinya Formasi Karangsambung. Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan Oligosen Formasi Kujung.
Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek kompresional di daerah Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di Bayat.
Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih berlangsung sampai Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme yang kemungkinan berkaitan erat dengan munculnya zona gunungapi di bagian selatan Jawa (OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan Selatan. Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini
Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur Inversi )
Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju penunjaman Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga berkurang secara drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi sehingga berkembang fase kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan syn-rift Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengendapan karbonat besar-besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur. Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inversi berkembang endapan syn-inversi formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng.
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan graben) utara-selatan yang telah ada.
Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement dominan berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasi.
Harap Berkomentar Yang Baik Ya.
EmoticonEmoticon