Senin, 27 Februari 2017

Hubungan Busur Magmatik dan Asosiasi Mineralisasi Emas dan Tembaga di Indonesia

Mineralisasi emas di Indonesia terbentuk pada busur andesitik yang terjadi dalam rentang Cretaceous hingga Pliosen (3 -20 My tahun), terutama pada usia Neogen. Pada masa tersebut, lempeng – lempeng yang menyusun Indonesia mulai mengalami pertemuan dan membentuk zonasi tertentu secara aktif. Setiap busur dicirikan oleh mineralisasi spesifik yang menunjukkan bahwa dasar busur berhubungan dengan tumbukan awal dan perubahan dalam polaritas tektonik dan tingkat erosi.
Tipe deposit emas yang teridentifikasi di Indonesia adalah porfiri tembaga – emas, skarn, sistem high dan low epithermal sulphidation, emas sediment-hosted, deposit Au-Ag-barite + base metals dan tipe Kelian, yaitu peralihan tipe porfiri ke sistem epitermal.
Proses Tektonik Regional pada Sistem Busur di Indonesia
Proses utama tektonik di daerah geologi Indonesia untuk daerah busur magma dan asosiasinya terhadap mineralisasi emas dan tembaga dibagi menjadi :


1. Pembentukan ophiolite, tumbukan, dan perubahan busur
Pembentukan ophiolit terjadi karena pengangkatan kerak samudera sebagai hasil pemekaran lantai samudra, naik ke atas kerak benua yang pasif dan dipengaruhi juga aktivitas intrusi andesitk pada kerak yang ditumpangi. Secara tektonik, ophiolit yang terbentuk mendorong terjadinya pembentukan patahan pada busur belakang (C) sehingga mengakibatkan perubahan subduksi pada ke arah baru (D). Pada kerak benua yang ditumpangi terjadi pemekaran (E) sehingga terbentuk cekungan di busur belakang (F). Oleh karena lempeng terus bergerak, pemekaran dan subduksi terjadi bersamaan (G) sehingga potensi cebakan endapan mineral terbentuk tinggi karena aktivitas tersebut yang langsung berhubungan dengan magma. Setting tektonik seperti ini terjadi pada daerah tektonik Sunda Banda yang menghubungkan Timor, Wetar dan Sumba.

1. Busur magmatik
Tipe busur magmatik di Indonesia terbagi atas mafik dan andesitik. Batuan mafik volkanik kebanyakan berada pada daerah bekas laut, yang didominasi basalt atau balastik – andesite dan generasinya. Akan tetapi dominasi busur magmatik Indonesia berupa busur andesitic yang banyak ditemukan di sekitar daerah perairan dangkal. Dominasi rhyolit yang membatasi dan menyusun lantai benua. Intrusi andesitik ini mengidikasikan bahwa terjadi stress lemah yang mengakibatkan tarikan sepanjang busur dan mungkin berhubungan dengan mundurnya palung di daerah subduksi lempeng samudera.

2. Lantai busur
Kebanyakan mineralisasi di daerah busur di Indonesia yang terekspos berupa batuan vulkanik. Lantai busur kebanyakan tersusun atas batuan metamorfik (greenstone, phyllite, mica schist, gneiss) dan ophiolit. Kerak busur kepulauan lebih tipis dibandingkan dengan daerah kerak benua.

3. Pemekaran busur belakang
Pemekaran busur belakang terbentuk di busur belakang selama subduksi juga terjadi pada kerak samudera yang mengalami perubahan arah subduksi. Akibatnya terbentuk cekungan pada daerah busur belakang.

4. Kompleks daerah metamorfik
Hipotesis yang dimungkinkan untuk menjelaskan kompleks daerah metamorfik adalah adanya asosiasi dengan patahan bersudut rendah yang merupakan jalur dari metamorfik Papua Nugini. Pemanjangan kerak terregional yang berasosiasi dengan pemindahan akibat patahan menyediakan mekanisme yang memungkinkan pemendekan busur. Hal ini dapat dilihat terbentuk pada daerah subduksi pada busur yang sangat berkaitan dengan aktivitas mineralisasi.

Busur Magmatik Indonesia
Sebagai daerah pertemuan tiga lempeng aktif, Indonesia juga memiliki daerah busur kepulauan yang menyebar sepanjangan wilayah timur – selatan Indonesia. Pergerakan lempeng – lempeng secara aktif pada masa neogen menyusun Indonesia menjadi beberapa jalur aktif busur magmatik. Secara umum, sistem busur magmatik di Indonesia adalah hasil kompleks sejarah aktivitas tektonik, termasuk di dalamnya subduksi dan busur magmatik, rotasi dan perpindahan busur, pemekaran busur belakang, pembentukan ophiolit danpenumbukan yang akibatkan perubahan arah busur, patahan stike-slip dan kemungkinan karena pemanjangan kerak.
Indonesia memiliki 7 jalur utama busur magmatik dan beberapa busur minor. Ketujuh busur mayor tersebut adalah
1. Busur Sumatra-Meratus (Pertengahan dan Akhir Cretaceous)
Daerah busur Sumatera-Meratus melingkupi daerah Sundaland sepanjang sumatera bagian barat dan selatan Kalimantan. Pada daerah ini, busur magmatik dimulai dengan perubahan polaritas tektonik setelah penempatan Woyla. Saat terekspos, busur tidak termineralisasi dengan baik, karena perluasan akibat pengangkatan dan erosi selama masa tertiary. Daerah mineralisasi ini hanya menyumbang 1% dari sumber daya emas dan sangat sedikit tembaga Indonesia. Pada daerah Sumatera, mineralisasi dibatasi oleh besi, dan skarn base metal, juga kombinasi emas-perak dan emas-tembaga pada rasio rendah. Di daerah Kalimantan, emas yang ada diikuti kuarsa dan vein, veinlets karbonat kuarsa akibat pembentukan secara epithermal.
2. Busur Sunda-Banda (Neogen)
Busur ini merupakan busur terpanjang di Indonesia, dari Sumatera Utara hingga timur Damar. Mineralisasi yang terjadi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu berbentuk sistem urat epithermal sulfidasi rendah di bagian barat busur dan porfiri emas-tembaga dan massive sulphide lenses replacement bodies serta stockworks di timur. Hal ini terjadi karena perbedaan lempeng yang menyusun daerah magmatik sepanjang busur. Daerah bagian barat cenderung terbentuk lebih dulu dan stabil sehingga memungkinkan bentukannya adalah intrusi dangkal andesitik pada masa neogen. Daerah timur merupakan daerah progresif lempeng dan aktif bergerak membentuk zona subduksi yang menjadi tempat pembentukan intrusi besar berupa badan bijih seperti porfiri.
3. Busur Aceh (Neogen)
Busur Aceh berada pada palung di utara Sumatra yang tidak panjang. Busur ini berkaitan langsung dengan dataran Sunda. Palung di sekitar busur menjadi daerah subduksi antara kerak samudra hasil pemekaran dari cekungan Mergui yang menekan pada lantai lempeng Sumatera bagian utara. Di daerah busur ini, mineralisasi yang terjadi berupa porfiri tembaga-molybdenum dan tipe endapan sulfidasi tinggi.
4. Busur Kalimantan Tengah (pertengahan Tertiary dan Neogen)
Busur ini selama bertahun-tahun diperkirakan dari kehadiran kondisi sisa erosi selama akhir Oligocene hingga awal Miosen yang sifatnya andesitik hingga trachy-andesitik di daerah sekitar ativitas vulkanik. Kebanyakan dari yang ditemukan berasosiasi dengan emas. Mineralisasinya berupa peralihan epitermal ke porfiri. Di bagian barat, mineralisasi berasosiasi dengan batuan hasil erupsi dan intrusi dioritik.
5. Busur Sulawesi-Timur Mindanao (Neogen)
Pada busur ini, aktivitas magmatik cenderung berada pada daerah bawah laut dan juga tersusun oleh batuan sedimen sebagai akumulasi kegiatan tektonik aktif di daerah ini. Dominasi busur ini adalah aktivitas lempeng aktif yang membentuk lengan – lengan kepulauan Sulawesi. Akibatnya, mineralisasi yang terjadi meliputi porfiri emas-tembaga, endapan sulfidasi tinggi, sediment hosted gold, dan urat sulfidasi rendah.
6. Busur Halmahera (Neogen)
Daerah busur Halmahera terdiri dari hasil intrusi andesitik yang berusia Neogen, termasuk dengan batuan vulkanik. Pada daerah barat busur ini juga dipotong oleh sesar Sorong selama daerah timur terjadi subduksi di Laut Molluca. Busur Halmahera belum dieksplorasi dan dimungkinkan hipotesis terbentuk mineralisasi berupa porfiri tembaga-emas.
7. Busur Tengah Irian Jaya (Neogen)
Daerah busur tengah Irian Jaya memanjang dari kepala burung hingga Papua Nugini. Hal ini berkaitan dengan pergerakan sabuk New Guinea, sebuah zona sabuk metamorfik dan pembentukan ophiolit. Busur diikuti juga dengan subduksi di selatan dan diikuti penumbukan. Kegiatan vulkanisme yang mengikuti adalah bersifat andesitik. Busur tengah Irian Jaya terbentuk di lempeng aktif Pasifik. Deformasi yang terus terjadi mengakibatkan pembentukan deposit pada daerah benua pasif yang terbentuk sebelumnya dengan dasar berupa batugamping jalur New Guinea. Mineralisasi yang terjadi berupa porfiri yang kaya akan emas, badan bijih skarn.
Keberadaan ketujuh busur mayor ini berkaitan dengan mineralisasi aktif di Indonesia, terutama terhadap emas dan tembaga. Jumlah endapan per km panjang busur tergantung pada masing – masing busur dan kontrol lain yang berkaitan dengan mineralisasi. Pada gambar di atas ditunjukkan daerah mineralisasi aktif sepanjang busur magmatik di Indonesia.
Busur mayor ini juga diikuti dengan keberadaan busur minor di sekitar. Busur minor tersebut terdiri atas :
1. Busur Schwaner mountain (west Kalimantan, tonalitic – granodioritic batholiths, early cretaceous)
2. Busur Sunda shelf (Karimata island, granitic, late cretaceous)
3. Busur Moon utawa (northern head of Irian Jaya, andesitic – sedimentary rocks – intruded dioritic, middle miocene)
4. Busur West sulawesi (western Sulawesi, granitic, late miocene – pliocene)
5. Busur Northwest Borneo ( andesitic, middle miocene)
6. Busur Sumba Timor (andesitic – andesite porphyry intrusions, palaeogene)
7. Busur Coastal Irian Jaya (Mamberamo, diorites, neogene possibly)
8. Busur Talaud (Northeast Sulawesi, andesitic-andesite blocks in melange, neogene)
Bentuk utama Mineralisasi Emas dan Tembaga di Indonesia
Secara umum, bentuk mineralisasi emas dan tembaga di Indonesia berupa :
1.                   Porfiri
2.                  Endapan ephitermal sulfidasi tinggi
3.                  Endapan ephitermal sulfidasi rendah
4.                  Mineralisasi Au-Ag-Cu ± base metals
5.                  Skarn
6.                  Sediment Hosted
Berdasarkan aktivitas tektonik yang terjadi di sepanjang busur magmatik, daerah bagian timur Indonesia didominasi oleh bentukan porfiri dan skarn, serta sebagian kecil endapan hidrotermal sulfidasi tinggi dan sediment hosted. Daerah barat Indonesia memiliki mineralisasi cenderung berupa endapan epitermal sulfidasi rendah yang terjadi di daerah paparan Sunda yang relatif dangkal. Aktivitas busur magmatik dan bentuk mineralisasi memiliki hubungan yang menunjukkan identifikasi perbedaan antara lingkungan tektonik selama pembentukan porfiri emas-tembaga, skarn dan deposit sulfidasi tinggi. Pembentukan mineralisasi Au-Ag-Cu ± base metals terjadi di lingkungan submarine dangkal saat larutan sulfida yang hasilnya juga menghasilkan mineralisasi sulfidasi tinggi di sekitar sub-aerial batuan vulkanik, dan daerah lantai samudera.
Kontrol Regional terhadap Mineralisasi
Mineralisasi endapan Au-Ag-Cu ± base metals dipengaruhi oleh kontrol regional terhadap kondisi tektonik yang ada. Kontrol yang terjadi dibagi menjadi hubungannya mineralisasi dengan busur magmatik, asal kerak dan umur busur, serta berhubungan syn-mineralization regional.
Terhadap hubungan dengan busur magmatik, deposit di Indonesia berhubungan dengan busur magmatik andesitik yang terbentuk selama dan secara cepat dalam aktivitas magma. Ini menunjukkan bahwa mineralisasi yang terjadi berkaitan dengan subduksi lantai samudera.Deposit epithermal Indonesia terbentuk di sepanjang busur benua yang merupakan busur kepulauan yang bergabung dengan Sundaland selama masa mineralisasi karena penebalan kerak dan pemanjangan intensif. Porfiri emas terjadi baik pada kondisi busur kepulauan dan benua.

Kebanyakan mineralisasi terjadi pada masa Neogen yang mengindikasikan bahwa mineralisasi juga sebenarnya tidak bergantung pada umur kerak yang tersubduksi. Hubungan antara usia busur dijelaskan dengan erosi sebagai akibat pengangkatan selama aktivitas vulkanik dan erosi yang berhubungan dengan kegiatan orogenik yang pengaruhi selama pasca mineralisasi saat perubahan polaritas busur. Syn-mineralization regional berkaitan dengan perbedaan jenis mineralisasi di daerah timur dan barat Indonesia karena perbedaan aktivitas lempeng yang mendominasi.

Harap Berkomentar Yang Baik Ya.
EmoticonEmoticon