Jauh sebelum Perang Dunia II dan perang kemerdekaan, perusahaan-perusahaan minyak asing telah membangun kilang minyak di beberapa tempat di Indonesia seperti Wonokromo, Pangkalan Berandan, Cepu, Balikpapan, Plaju, dan Sungai Gerong.
Kilang Wonokromo merupakan kilang tertua di Indonesia. Dibangun 1889 setelah ditemukan minyak di daerah konsesi Jabakota dekat Surabaya oleh De Dordtsche Petroleum Maatschappij. Kilang ini merupakan unit distilasi atmosfir.
Kilang Pangkalan Berandan dibangun De Koninklijke pada 1891. Dirancang untuk mengolah crude dari Sumatera bagian utara.
Kilang Cepu dibangun oleh De Dordtsche Petroleum Maatschappij pada 1894. Mengolah crude lapangan-lapangan sekitar Cepu dengan proses distilasi atmosfir. Dibeli BPM 1911.
Kilang Balikpapan dibangun 1894 oleh Shell Transport and Trading Company sebelum bergabung dalam Royal Dutch Shell. Mengolah minyak yang diproduksi lapangan Sanga-sanga.
Kilang Plaju. BPM mendirikan kilang ini dan beroperasi 1904. Dirancang mengolah crude dari lapangan sekitar Palembang. Kilang Plaju terus dilengkapi.
Kilang Sungai Gerong. Dibangun oleh Stanvac, mulai beroperasi Mei 1926. Bahan baku kilang ini berasal dari lapangan Talang Akar, Jirak, Benakat, Lirik, Pendopo, dan Selo.
1945 – 1950
Di periode ini perusahaan migas pribumi yang sudah berdiri adalah Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia Sumatera Utara (PTMNRI Sumatera Utara), Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (Permiri) Sumsel dan Jambi, dan Perusahaan Tambang Minyak Negara Cepu (PTMN Cepu). Ketiga perusahaan ini berdiri tahun 1945. Tetapi hingga 1950 tinggal Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI Sumatera Utara) dan PTMRI Cepu,
Pada masa Hindia Belanda terdapat dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam penyediaan dan pemasaran BBM, yaitu BPM dan Stanvac. Dalam zaman pendudukan Jepang penyediaan dan pemasaran BBM untuk masyarakat sangat terbatas karena BBM yang dihasilkan terutama digunakan untuk keperluan perang.
Dalam perang kemerdekaan para pejuang berusaha merebut dari Jepang penguasaan atas pembekalan BBM di dalam negeri beserta sarana penimbunan dan pengangkutannya. Usaha tersebut tidak berjalan lancar karena kedatangan kembali Belanda dalam pasukan NICA. Terjadilah bentrokan-bentrokan senjata antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda.
Sebagai akibat serbuan Belanda dalam Agresi I Belanda tahun 1947, wilayah Indonesia terpecah menjadi dua daerah kekuasaan, yaitu daerah kekuasaan Republik Indonesia dan derah pendudukan Belanda.
Daerah pendudukan Belanda terutama daerah yang memiliki potensi ekonomi yang menguntungkan Belanda. Karena terpecahnya kedua daerah kekuasaan itu, terjadi pemisahan dalam penyediaan BBM.
Sebelum Agresi I Belanda, Cepu dan sekitarnya menjadi penyedia BBM yang utama untuk Pulau Jawa. Hal ini karena kilang Wonokromo hancur oleh pemboman tentara Sekutu.
Dalam daerah yang dikuasai pasukan Indonesia, distribusi minyak dilakukan melalui kereta api atau dengan cara pengangkutan beranting, entah dengan sepeda atau pikulan. Yang mengurusnya PTMN. Perusahaan ini selain menggunakan minyak Cepu, juga dari lapangan Bongas dan Randegan di Jawa Barat.
Kalau daerah yang dilayani sangat luas dan permintaan BBM jauh melampaui kemampuan penyediaannya, maka sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati hasil minyak bumi. Mereka menggunakan minyak kelapa atau minyak jarak untuk penerangan lampu dan keperluan-keperluan lainnya.
Keadaan di Pulau Jawa menjadi semakin sulit setelah Belanda berhasil menguasai kilang Cepu dan lapangan kawengan dalam Agresi II Belanda tahun 1948. Sumber penyediaan minyak untuk pasukan Indonesia dan masyarakat menjadi berkurang. Apalagi lapangan Bongas dan Randegan telah diledakkan Belanda.
Tak hanya di Jawa. Di Sumatera Utara, Agresi I Belanda telah mengakibatkan kilang Pangkalan Berandan dibumihanguskan pasukan Indonesia. Dalam keadaan itu, para pejuang memanfaatkan kilang-kilang sederhana yang dibangun oleh Jepang di lapangan minyak di sektiar Pangkalan Berandan dan Aceh Timur sebagai basis penyediaaan minyak.
Sementara itu, produksi kilang kecil di lapangan-lapangan Jambi, Pendopo, dan Prabumulih menjadi pusat penyediaan BBM para pejuang, bukan hanya daerah Jambi dan Sumatera bagian selatan, tetapi sampai Sumatera bagian utara dan Sumatera Barat. Pada masa itu kilang Plaju dan Sungai Gerong telah direbut kembali oleh Belanda dalam Perang Lima Hari di Palembang.
Dalam masa perjuangan, peranan minyak pun tidak terbatas sebagai bahan bakar, tetapi juga sebagai komoditi ekspor.
Walaupun banyak instalasi yang telah dibumihanguskan oleh pejuang-pejuang Indonesia, namun Belanda mengusahakan perbaikan kembali, termasuk rehabilitasi lapangan dan kilang minyak. Termasuk perbaikan sarana seperti instalasi penimbunan, sarana distribusi,dan pengankutan.
Kebutuhan di daerah pendudukan Belanda dipenuhi dari kilang Wonokromo, Plaju, Sungai Gerong, dan Balikpapan, melalui depot-depot laut di daerah pendudukan Belanda: Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Makassar, Menado, dan kota-kota lainnya.
Pengangkutan BBM saat pendudukan Belanda dilakukan oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dengan memakai drum. Di darat dilakukan dengan kereta api milik maskapai Staats Spoorwegen (SS) dan mobil-mobil tangki BBM. Juga terlibat BPM dan Stanvac.
1950 – 1960
Sebenarnya di periode ini lahir Perseroan Terbatas Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PT ETMSU) berdiri 22 Juli 1957 lalu berubah menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT Permina) yang berdiri pada 10 Desember 1957, sebagai cikal bakal Pertamina. Lalu di tahun 1959 ada NV Niam(NV Nederlans Indische Aardolie Maatschappij) yang lalu menjadi PT Permindo (PT Pertambangan Minyak Indonesia), 31 Desember 1959,
Tetapi pembekalan BBM untuk keperluan dalam negeri sampai akhir 1960 hampir sepenuhnya dilaksanakan oleh perusahaan minyak asing Shell, Stanvac, dan Caltex. Bisnis!
Melihat keadaan yang tidak sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan perekonomian nasional, Pemerintah mulai melaksanakan kebijaksanaan pengendalian harga BBM. Pada tahun 1958 Pemerintah menetapkan pembatasan harga jual BBM di dalam negeri.
Kebijaksanaan tersebut dianggap oleh perusahaan minyak asing sebagai campur tangan Pemerintah yang merugikan. Perusahaan minyak merasa tidak bebas lagi menjalankan politik hrga sesuai keinginannya. Di samping berkurang keuntungan dari penjualan BBM, perusahaan minyak menghadapi kesulitan karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
1960 – 1966
Hingga 1961 kita memiliki PN Permina, PN Pertamin (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia) perkembangan dari PT Permindo, dan PN Permigan (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional). Tetapi pada 4 Januari 1966 PN Permigan dilikuidasi karena berafiliasi ke PKI.
Usaha pemurnian dan pengolahan serta pembekalan BBM yang masih dikuasai perusahaan asing tidak sesuai dengan dasar hukum yang berlaku, karena cabang produksi yang demikian penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai dan diselenggarakan oleh Negara.
Sampai akhir 1966 kegiatan pemurnian dan pengolahan sebagai rangkaian usaha pertambangan minyak dan gas bumi, dilaksanakan oleh PT Shell yang mengoperasikan kilang-kilang Plaju, Wonokromo, dan Balikpapan. Sedangkan Cepu dioperasikan PT Shell sampai tahun 1962 yang kemudian dibeli Pemerintah dan dioperasikan PN Permigan. PT Stanvac mengoperasikan kilang minyak Sungai Gerong. Kegiatan pembekalan BBM di dalam negeri sampai 1966 dikuasai PT Shell dan PT Stanvac. Mereka berbisnis murni dengan meraih keuntungan normal sebagai bidang usaha. Jenis BBM yang dipasarkan di dalam negeri masih terbatas, terutama bensin dan minyak tanah.
Di tahun 1960-1966 ini penyediaan sarana tidak memadai karena tidak mengalami perubahan sejak 1950. Letak instalasi/depot dan fasilitas pemasaran lainnya tidak cukup merata. Letaknya hanya pada tempat-tempat pemasaran yang dianggap menguntungkan PT Shell dan PT Stanvac. Akibatnya distribusi dan pelayanan BBM menjadi tidak merata.
Demikian juga keadaan sarana pengangkutan yang serba terbatas. Yaitu hanya 125 buah mobil tangki dengan daya angkut 1.000 kiloliter untuk melayani seluruh Indonesia.
Keadaan ini akhirnya menyebabkan semakin memburuknya pembekalan BBM untuk masyarakat. Juga tidak terjaminnya penyediaan minyak untuk kepentingan angkatan bersenjata.
versi lain;
Di Sumatra
1871 Seorang pedagang Belanda di Cirebon, Jan Reerink merupakan orang pertama yang mencoba melakukan eksplorasi minyak di Indonesia (dulu Hindia Belanda)
- Mulai mengebor sumur di Cibodas, sebuah desa dekat Majalengka dan Kadipaten, di kaki gunung Cireme, hasilnya gagal.
- Kemudian ia melakukan pengeboran di desa Panais, Majalengka, Cipinang dan Palimanan, dengan mengunakan tenaga uap yang didatangkan dari Canada, menghasilkan minyak yang sangat kental disertai dengan air panas yang mancur setinggi 15 meter.
1876 Dengan tidak mendapat pinjaman modal dari Nederlandsche Handel Maatschappij, ia menyerah dan kembali ke usaha dagang sebelumnya.
1880 Aeilko Jans Zijker, seorang petani tembakau yang pindah dari Jawa ke Sumatra; di Langkat ia menemukan minyak yang merembes ke permukaan, kemudian minyak yang sudah menguap tersebut dibawa ke Jakarta (dulu Batavia) untuk dianalisis, dan dari hasil penyulingan minyak tersebut menghasilkan 59 % minyak untuk penerangan.
1882 Zijker mencari dana ke negeri Belanda untuk explorasi minyak di Sumatra Utara.
1883 Zijker mendapat konsesi Telaga Said dari Sultan Langkat.
1884 Zijker mulai mengebor sumur pertama, ternyata gagal.
1885 Sumur kedua, dinamakan Telaga Tunggal, berhasil menemukan minyak di kedalaman 22 meter, dan sumber utamanya di kedalaman 120 meter.
1890 Zijker memindahkan konsesinya ke Royal Dutch Petroleum, Zijker meninggal Desember 1890 dengan tiba-tiba di Singapore. Kepemimpinan perusahaan digantikan oleh De Gelder yang berkantor di Pangkalan Brandan. Fasilitas lainnya dipasang di Pangkalan Susu.
1892 Kilang Pangkalan Brandan dibangun, selesai dan mulai berproduksi dari hasil minyak ladang Telaga Said.
1914 NIAM (Nederlandshe Indische Aardolie Maatschappij) mendapat konsesi di Jambi dan di Bunyu, Kalimantan.
Riwayat Stanvac
1914 NKPM anak perusahaan Standard New Jersey menemukan ladang Talang Akar di Sumatra Selatan, yang berkembang menjadi ladang minyak terbesar yang ditemukan sebelum PD-2.
1926 Untuk mengolah minyak Talang akar NKPM membangun kilang di Sungai Gerong, Palembang. Pipa transmisi juga dibangun dari Lapangan Talang Akar ke Kilang Sungai Gerong dan selesai, kemudian digunakan bersama pengoperasian kilang mulai bulan Mei 1926 dengan kapasitas awal 3500 barrel perhari.
1933 Standard Oil New Jersey menyatukan sahamnya dengan NKPM menjadi Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM), yang kemudian diubah namanya menjadi PT Stanvac. Perusahaan ini adalah hasil penyatuan produksi dan pengilangan Standard of New Jersey dengan jaringan pemasaran yang luas, kepunyaan Socony Vacuum (Standard of New York, sekarang menjadi MOBIL OIL) di seluruh Asia, Australia dan Afrika Timur.
Dengan terbentuknya perusahaan baru ini dan penemuan dari ladang-ladang baru, pemasangan pipa tambahan (looping) baru dilakukan dan kilang minyak Sungai Gerong diperbesar kapasitasnya menjadi 40.000 bpd pada tahun 1936 dan menjadi 46.000 bpd mulai tahun 1940.
Ladang minyak Lirik diketemukan di tahun-tahun sebelum penyerbuan Jepang, pada Perang Dunia ke-2.
R i w a y a t C a l t e x
1924 Standard of Callifornia mengirimkan geologistnya ke Indonesia tahun 1924.
1930 Kemudian membentuk anak perusahaan yang dinamakan Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM).
1936 NPPM diberi konsesi di daerah Rimba, dikenal dengan Rokan Block, Sumatra Tengah, yang sebelumnya ditolak oleh Standard of New Jersey.
Standar of California bersekutu dengan Texaco untuk mengelola dan sebagai pemilik bersama dengan nama baru yaitu California Texas Oil Co. (Caltex)
1939 Sumur eksplorasi pertama (Rokan Block) di Sebanga, 65 km utara Pekanbaru, menunjukkan adanya minyak, kemudian mereka menemukan juga minyak di Duri.
1940 Pada waktu Caltex sedang mempersiapkan menara pengeboran untuk Ladang Minas yang menjanjikan, Jepang datang menyerbu ke Sumatra Utara.
1943 Menara pengeboran kemudian dimanfaatkan oleh Jepang untuk melaksanakan pengeboran struktur Minas, dengan kedalaman 700 meter, menghasilkan 800 bpd.
Peran Ladang Minas setelah dikembangkan menjadi salah satu dari 20 atau 30 ladang minyak raksasa di dunia. Di Jawa
1886 Seorang insinyur muda di Semarang bernama Andrian Stoop, berhasil mendapatkan izin dari Gubernur Jendral untuk mengadakan penyelidikan di Amerika Serikat tentang pengeboran minyak. Dia berhasil mendapatkan banyak informasi yang berguna dan kemudian menyusun laporan penting tentang industri minyak di Amerika Utara.
1887 Stoop mendirikan perusahaan baru di Surabaya untuk eksplorasi dan pengembangan minyak di Jawa yang dinamakan Dordtsche Petroleum Maatschappij. ia melakukan pengeboran pertama di dekat Surabaya .
Waktu itu Surabaya terkenal dengan perembesan minyak ke permukaan; minyak ini digunakan untuk menyamak kulit dan dijual sebagai obat.
1890 Kilang Wonokromo dibangun.
1893 Minyak pelumas pertama dibuat di Wonokromo.
1894 Kilang Cepu dibangun.
1897 Shell Transport dan Trading Company Ltd. Didirikan.
1899 Jan Stoop mengemudikan "mobil yang mengunakan bahan bakar gasolin" dari Surabaya ke Cepu.
1914 NKPM (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) anak perusahaan Standard Oil of New Jersey, masuk lapangan, menemukan minyak untuk pertama kali di Cepu. di Kalimantan
1897 Menten Mengebor sumur pertama di Kutai, Kalimantan.
1899 Shell Transport & Trading Ltd. membuat Kilang di Balikpapan.
1905 Royal Dutch menemukan minyak di Tarakan.
1907 Royal Dutch dan Shell bergabung.
1908 Proses pembuatan lilin dimulai di Balikpapan.
1908 Penggunaan pertama kali gaslifting di kampung Minyak.
1913 Pabrik drum dan kaleng dibangun di Balikpapan.
1925 Aerial photo diintroduksikan untuk eksplorasi minyak.
1929 Shell mengintroduksikan electric well logging.
di Irian Jaya/Papua
1928 Shell telah memulai melakukan survey di Irian.
Pemerintah pada m a s a itu menghimbau kepada Shell bersama Stanvac (Standard of New Jersey dan Standard of New York) dan Caltex (Standard of California dan Texaco) untuk mengumpulkan dana untuk mengekplorasi Irian Jaya dan membentuk N.V. Nederlansch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM).
1935 Setelah mencapai kesepakatan, pembagian sahamnya menjadi sebagai berikut: Shell dan Stanvac masing-masing 40% sedangkan sisanya yang 20% dipegang oleh Far East Pacific Investment Co. (anak perusahaan Caltex)
Usaha patungan itu dikelola oleh Shell karena mereka telah melakukan survey sejak tahun 1928. Pemerintah waktu itu memberikan hak konsesi khusus selama 50 tahun..
Waktu melakukan eksplorasi NNGPM menghadapi banyak kendala, daerahnya terpencil dan tanahnya sukar dirambah, cuaca selalu hujan hampir setiap hari, tenaga kerja yang harus didatangkan dari luar Irian. Perusahaan hanya menemukan ladang yang kecil-kecil, tidak menemukan ladang yang besar sebelum 1942. Mereka terpaksa harus meninggalkan daerah tanpa menghasilkan produksi yang komersil atas penanaman modal jutaan dollar.
Catatan:
Riwayat Perminyakan di Indonesia ini diambil dari buku kecil " Peringatan 100
Tahun Minyak Bumi di Indonesia", yang diterbitkan di tahun 1985. Jadi
perkembangan sesudahnya tidak diikutsertakan.
Adriaan Stoop (1856 – 1935)
Adriaan Stoop lahir pada tahun 1856 di Dordtrecht, Belanda, sebagai anak ke lima dari 11 bersaudara. Dia anak yang cerdas dan bisa meraih gelar insinyur pertambangan di Delft (juga Belanda) pada usia muda. Setelah menambah ilmu di beberapa tempat di luar negri, pada tahun 1879 dia berangkat ke Hindia-Belanda dan jadi pegawai pada Jawatan Pertambangan di Jawa. Tugasnya adalah mengebor sumur-sumur air. Dalam melaksanakan tugasnya di Jawa Timur dia temukan tanda-tanda adanya minyak bumi. Ketika dia ditugaskan untuk membantu Zijlker di Telaga Said, dia berhalangan, karena harus mengantar istrinya berobat ke negri Belanda. Oleh karena itu dia mengajukan cuti di luar tanggungan negara, dan sekaligus pergi ke Amerika Serikat untuk mempelajari seluk-beluk perminyakan di sana. Tapi Standard Vacuum yang dia datangi ogah membuka rahasianya, mengingat Hindia Belanda merupakan pasar yang menguntungkan bagi mereka. Meskipun demikian Stoop berhasil mengumpulkan informasi yang diperlukan, sehingga laporannya yang kemudian diterbitkan, banyak membantu De Koninklijke dalam membuat perencanaan.
Sekembalinya di Hindia Belanda ia mengusulkan agar pemerintah terjun sendiri dalam usaha perminyakan. Namun usul ini ditolak, malah sebaliknya pemerintah mengizinkan Stoop untuk melaksanakan pengusahaan minyak secara pribadi.
Adriaan Stoop kemudian memutuskan untuk terjun ke dunia perminyakan.
Keinginannya dapat diwujudkan berkat bantuan keuangan berupa modal awal sebesar 150.000 perak dari keluarga dan kawan-kawannya di kota kelahirannya. Itulah sebabnya kenapa ia menamakan perusahaannya De Dordtsche Petroleum Maatschappij (disingkat DPM) yang artinya Perusahaan Minyak Tanah Dordt.
Pada tahun 1888, pemboran di sumur I di desa Kuti berhasil menemukan minyak dalam taraf komersial. Dalam hal ini Stoop lebih beruntung daripada Zijlker.
Kilang Wonokromo yang selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 1889, merupakan kilang minyak pertama di Indonesia.
Mungkin karena arsip-arsip yang tidak dapat ditemukan lagi, maka mengenai tahun pembangunan Kilang Wonokromo ditemui informasi yang berbeda-beda. Dalam publikasi PERTAMINA tercantum baik tahun 1889 maupun tahun 1890. Gerretson dalam bukunya menuturkan, bahwa setelah Stoop berhasil menemukan minyak di desa Kuti pada tahun 1888, ia membuat kilang kecil di desa Medang, tidak jauh dari desa Kuti. Kilang ini yang kapasitasnya satu “cikar” sehari atau 8000 peti per tahun, dibangunnya sebagai percobaan, yang pada akhir tahun 1888 dihentikan.
Produk yang selama itu dikumpulkan dipasarkannya pada tahun 1889. Pada tahun 1890 diambil keputusan untuk membangun kilang yang lebih besar di Wonokromo, antara kanal ke sungai Brantas dan stasiun kereta api Wonokromo.
Surabaya dan sekitarnya yang berpenduduk padat merupakan daerah pemasaran yang sangat baik bagi minyak lampu hasil Kilang Wonokromo. Produk kilang dijual dalam jumlah besar kepada pembeli yang datang sendiri ke kilang dengan membawa kaleng-kaleng bekas minyak lampu produk Amerika untuk kemasannya.
Bensin De Dordtsche untuk pertama kali digunakan sebagai bahan bakar lampu gas untuk penerangan jalan di Jawa. Untuk merangsang penggunaan bensin, De Dordtsche mengimpor sendiri lampu gas yang ditawarkan untuk dijual kepada kotapraja-kotapraja. Namun Henriette van Voorst Vader-Duyckink Sander, cicit Adriaan Stoop, dalam bukunya yang berjudul “Leven en Laten Leven, Een Biografie van Ir. Adriaan Stoop, 1856-1935”, terbitan Schuyt & Co., Haarlem, tahun 1994, membantah hal ini.
Sumur minyak di daerah Panolan, Cepu menghasilkan minyak yang memiliki kadar lilin (wax) yang tinggi.
Kilang Cepu yang terletak di tepian Bengawan Solo.merupakan kilang minyak kedua yang dibangun de Dordtsche, sedang kilang ketiga dibangun di Semarang. Dibandingkan dengan pengilangan De Koninklijke, pengilangan De Dordtsche jauh lebih unggul karena mampu menghasilkan produk-produk tambahan.
Untuk memanfaatkan kandungan lilin dalam residu, maka pada tahun 1895 dibangun pabrik lilin di Cepu. Setelah proses distilasi dihasilkan lilin parafin keras dan lilin parafin lunak. Lilin parafin keras dijual sebagai lilin untuk penerangan, sedangkan lilin parafin lunak harus dicampur dulu dengan lilin korek api Skotlandia atau Amerika dan sedikit lilin Cina sebelum dapat dijual untuk keperluan industri batik.
Pada tahun 1905 pabrik ini ludes terbakar, namun segera dibangun kembali. Meskipun telah diadakan penyempurnaan dalam proses di kilang Cepu, namun produksi lilin tetap kurang menguntungkan.
Karena Cepu dan sekitarnya merupakan daerah yang sepi, maka pasar yang terbaik untuk produk kilang Cepu adalah daerah di utara dan di barat Cepu. Untuk pengangkutan dipergunakan kereta api milik De Semarang Joana stoom tram maatschappij (Perusahaan tram uap Semarang Joana).
Saluran pipa yang panjangnya 150 km digunakan untuk menyalurkan minyak bumi dari Lapangan Semanggi ke Kilang Wonokromo. Kandungan parafin yang rendah menyebabkan minyak ini tidak dapat diolah di Kilang Cepu. Saluran pipa ini rupanya tidak luput dari gangguan penduduk sekitarnya yang menyadap isinya pada malam hari melalui lubang yang mereka bor dan menyumbatnya pada siang hari. Minyak bumi yang diperoleh dengan cara ini mereka suling sendiri di tempat penyulingan yang tersembunyi dalam jurang dan hasilnya dijual di bawah harga pasar.
Pada waktu itu produk DPM tidak pegang monopoli di Jawa sehingga harus bersaing dengan minyak lampu buatan Amerika dan buatan Rusia. Namun pada tahun 1894 minyak lampu dari De Koninklijke yang waktu itu dipimpin Kessler ikut bersaing dengan cara membanjiri pasaran di Jawa. Ini dimungkinkan, karena Kessler menggenjot produksinya. Akibatnya adalah bahwa produksi sumur-sumurnya turun drastis sehingga pada tahun 1898 De Koninklijke nyaris bangkrut. Sebetulnya pada waktu itu Stoop mempunyai peluang besar untuk mengambil alih De Koninklijke, tapi dia tidak berhasrat untuk jadi Rockefeller Hindia Belanda. Setelah Deterding menggantikan Kessler yang sakit keras, dia berhasil menyelamatkan perusahannya. Caranya adalah mendirikan The Asiatic Petroleum Company di London bersama Marcus Samuel, saudagar di London yang memiliki Shell Transport & Trading Company yang beroperasi di Kalimantan, dan Baron Edmond de Rothschild pemilik perusahaan minyak Rusia yang besar. Pendirian perusahaan ini dimaksudkan untuk mampu bersaing melawan Standard Oil milik Rockefeller.
Dengan perhitungan bahwa di Jawa tidak memerlukan perlindungan, maka Stoop tidak mengikutsertakan DPM dalam Asiatic. Ini berakibat fatal ketika pada tahun 1910 Deterding perang harga dengan Standard Oil. Harga minyak di Jawa anjlok sampai 50%. DPM yang di pulau ini memiliki pangsa pasar 75% terpaksa kehilangan keuntungan. Kini tiba waktunya untuk menjual perusahaan DPM yang hingga waktu itu menjadi milik keluarga. Secara rahasia Stoop mengadakan perundingan dengan Standard Oil di New York, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Kini Stoop berpaling ke Deterding yang menawarkan pertukaran saham DPM dengan saham Koninklijke / Shell. Tepat setahun setelah perang harga, maka transaksi terlaksana.
Sebetulnya pada tahun 1904 ia menaruh minat pada sumber minyak di Weissee, Jerman. Namun hasilnya di samping sedikit minyak adalah yodium dan belerang yang dijadikannya proyek hobi. Tempat ini dijadikannya tempat pengobatan alami dengan pemandangan yang indah yang dinamakan “Stoops Bad” (Pemandian Stoop). Proyek hobi laennya adalah pabrik mobil Trompenburg di Amsterdam yang memproduksi mobil Spijker. Setelah perusahaan ini bangkrut pada tahun 1908, Stoop menyisihkan dana untuk mereorganisasinya dan menjadi komisaris. Tapi hasilnya kagak ada sehingga pada tahun 1914 dia menarik diri dari perusahaan ini.
Harap Berkomentar Yang Baik Ya.
EmoticonEmoticon